Rabu, 12 Februari 2014

Memastikan Arah Jalan



oleh : Andy Ilman Hakim

“Kunamai kepalaku dengan kebun harapan. Kebun yang segala jenis bibit bisa tumbuh disana.” 
(Khrisna Pabhicara, dalam novel Surat Dahlan)

Kupelintir arah berpikir dan mencoba sesekali menjenguk ingatan. Betapa banyak waktu yang sudah kuperbuat, dan membiarkannya menjadi laut kenangan.
Andy Ilman Hakim, begitulah namaku terlahir. Sejak dini, dan hingga saat ini. Masih dan berharap nama itu tetap terkenang, kelak. Mungkin saat dunia sudah meniadakannya.

Berkunjung sejenak di memori pikir yang penuh serabut harap, atas segala mimpi dan duka yang menyelinap diam-diam. Ah, sebegitu hidup ini memaksakan diri. Tak elok rasanya serba menyerakahi alat dan hiasan duniawi. Tapi, manusiawi terkadang memastikan arah jalan tak selamanya benar. Kadang pula berbelok.
Perjalanan hidup barangkali, memang tak seperti apa yang kita bayangkan. Penuh duri. Romantika hanya sesekali hiburan atas pembelajaran hidup, yang lambat laun juga terkikis seiring waktu. Hidup juga tak semua dihabiskan dengan celotehan-celotehan romantika, yang disekitar banyak pula yang menggoda. Mereka lambat laun seperti tak memiliki arah, bahkan untuk sekedar merencanakan hidup. Sesehari, dan beberapa waktu kemudian seolah hanya itu-itu saja yang dimaknai dalam hidup. Monoton.

Persebab itu, aku mungkin mengangkuhkan diri untuk berjalan dengan peta yang kubuat sendiri. 22 tahun sudah aku menanjaki pegunungan kehidupan. Dan barangkali, hidup memang banyak menuntut. Terlalu banyak tuntutan.
Kali ini, aku malas dengan berbagai romantika kekanak-kanakan. Aku ingin lebih menyeriusi hidup. Ditambah lagi, kesenangan membaca yang kubangkitkan beberapa waktu ini.
Sastra memang tidak hanya memberikan keindahan bercerita, namun juga pintar mensisipkan pesan dalam setiap alurnya. Surat Dahlan, yang kubaca dan kumaknai di setiap rangkai kejadian tokoh telah banyak membuka jalan atas apa yang menjadi pemaknaan hidup. Ya, di usia yang memang tak lagi ‘bibit’, Tuhan telah menunjukkan bahwa tak ada lagi waktu yang ditunda untuk sekadar takut menyeriusi hidup.

..kita memang terlahir bersamaan dengan rasa takut, tapi kita tetap harus menyemangati hidup”

Kali ini, aku benar-benar tak ingin beradu kata terlalu basi. Kamu, sebab dari segala harapan yang kutanam di kepala, kala itu. Ya, kala itu. Bersamaan dengan rasa takut.
Saat ini, sebenarnya aku ingin lekas menyelesaikan ‘tanggungan’ studi. Kata ‘tanggungan’ memang layak ku sematkan. Bukan karena beban, tapi sedikit menghambat cita yang ditabuh genderang rasa penasaran. Masa depan.

“Rindu memang tak memilih dan memilah kepala untuk menginanginya. Seenaknya saja menyusupkan diri.”

Ini saat yang aku rindukan. Saat-saat romantika kembali ingin menagih rasa janji. Kala beradu diri yang semakin menundukkanku menjadi kerdil, di hadapan Tuhan. Mencintai adalah fitrah.

Tetiba kemudian, kepala mencibir dan mengajakku hadir di lembah kenangan.
Betapa bahagia itu sederhana, ketika hidup telah dilingkari oleh beribu anak muda dengan segala bibit tanaman yang tumbuh di kepala. Syahdu, kehendak Tuhan melebihi atas kebahagiaan dari segala kebahagiaan. Menghabiskan pagi di desa peradaban, sampai sehabis petang menjelang. Bersepeda, dan sesekali berwisata. Di sebuah Gua, yang kunamai Gua Harapan. Betapa tak khawatir, dalam keadaan berpuasa, kita tengah beradu mengayuh sepeda hingga sampai pada Gua. Wajahmu pucat, dan dengus nafas tak beraturan.
Aku tak mau bercerita banyak. Kamulah persebab atas jalan lapang yang membawaku betah kemari. Sejumput saja mata beradu, hati sudah tak leluasa menebarkan bara. Namun, waktu mengakhiri tepat tertanggal 6 Agustus, yang seharusnya terjadwal pada 10 Agustus. Bagiku, prasasti harus mengenangnya sebagai Hari Duka. Terduduk dalam asrama, dan ku genggam Al-Quran dengan isak tangis sekembali perpisahan tadi.
Kamu adalah ketabahan yang Tuhan kirim bersama dengan bibit harapan. Dan Aku, kebun yang kau tumbuhi segala bibit dengan doa sebagai pupuk peneduhnya.

Ibu bilang, janji adalah hal yang harus ditepati. Justru karena hal itu, aku tak ingin mudah menjual janji atas apa yang tak berada diluar kuasaku.
Dulu, semenjak kepulanganmu kuhadiahi isak tangis, kita pernah sejenak berbicara di teras asrama setelah lelah bersepeda, jika suatu saat, aku akan berkunjung kesana. Ya, menemuimu, untuk sekadar mengobati rindu, setelah bertahun dimatikan diam dan rasa bersalah.

Dini hari ini, sebelum kuperdengarkan doa kepada Tuhan atas segala harap yang tak mampu kupastikan, karena semua dalam Kuasa Tuhan, aku ingin lebih menyeriusi hidup. Kadangkali, aku mengajak imajinasi untuk menghadirkan diri disana. Di tempat kamu menyinggahi hidup. Bertemu sanak keluargamu, dan sahabatmu yang penuh ramah menyambut kedatanganku. Sesekali kita habiskan segala waktu di Braga, untuk sekadar mengobati rasa penasaran. Dengan diri yang penuh siap, bak Dahlan berteman takut namun memberanikan diri menemui Kai Sabri.

Ah, tapi ini tetaplah hari ini. Keniscayaan yang memang harus ku terima menantikan masa kelak. Namun Tuhan, selalu mengirimmu sebagai ketabahan. Dan aku juga tak mau menyakitimu dengan pahitnya kegetiran merindu terlalu lama. Kamu juga berhak menjalani dan memilih hidup, apapun itu selalu kuterima sebagai jalan kebahagiaanmu. Karena bertemu denganmu dulu, sudahlah cukup menjadikanku hari ini dan rencanaku nanti. Aku hanya bisa menapaki jalan yang Tuhan buat, entah nanti akan Tuhan tetapkan seperti apa, aku hanya bisa membantuNya dengan doa setulus mungkin. Agar kelak, jika kita dipisahkan atas ketetapanNya, tak ada rasa sesal sedikitpun. Karena mencintai Tuhan adalah yang pertama dan utama. Semoga kamu tidak cemburu pada Tuhan.

Alhamdulillah aku mulai menyegerakan diri untuk menyelesaikan skripsi. Dan setelah kemarin memegang amanah pimpinan organisasi, saat ini aku diberikan amanah baru untuk menjadi asisten Pembantu Dekan III. Mungkin, aku akan menghabiskan masa ini untuk menyibukkan diri mempersiapkan kesuksesanku. Setelah lulus ini aku ingin mengabdikan diri sejenak, setelahnya sebagaimana yang pernah kuceritakan dahulu, aku akan melanjutkan pengembaraan untuk meninggikan ilmu, agar nanti bisa menjadi pendidik bagi anak didikku di bangku kuliah. Aku tak ingin kalah dengan kamu yang ingin menjadi guru. Ya, sambil menanti masa, semoga waktu kita habiskan untuk mencintai diri sejenak. Sebelum Tuhan menetapkan jalan yang Tuhan kehendaki nanti. Wallahua’lam.

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah … apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah … apa yg menyebabkan hati bimbang dan cemas, meski banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” HR. Muslim.

Aku sedang baik-baik disini, dan masih setia merawat bibit yang kau tanam dikepalaku. Meski kemarin, aku lalai tak menyiramnya lama. Tapi kini, bibit layu kembali tumbuh yang kupupuk kembali dengan doa dan harap kepada Tuhan.
Semoga kamu disana juga baik-baik saja.


Dini hari, 11 Februari 2014