oleh : Andy Ilman Hakim
“Kunamai kepalaku dengan kebun harapan. Kebun yang segala jenis bibit
bisa tumbuh disana.”
(Khrisna
Pabhicara, dalam novel Surat Dahlan)
Kupelintir arah berpikir dan
mencoba sesekali menjenguk ingatan. Betapa banyak waktu yang sudah kuperbuat,
dan membiarkannya menjadi laut kenangan.
Andy Ilman Hakim, begitulah
namaku terlahir. Sejak dini, dan hingga saat ini. Masih dan berharap nama itu
tetap terkenang, kelak. Mungkin saat dunia sudah meniadakannya.
Berkunjung sejenak di memori
pikir yang penuh serabut harap, atas segala mimpi dan duka yang menyelinap
diam-diam. Ah, sebegitu hidup ini memaksakan diri. Tak elok rasanya serba
menyerakahi alat dan hiasan duniawi. Tapi, manusiawi terkadang memastikan arah
jalan tak selamanya benar. Kadang pula berbelok.
Perjalanan hidup barangkali,
memang tak seperti apa yang kita bayangkan. Penuh duri. Romantika hanya
sesekali hiburan atas pembelajaran hidup, yang lambat laun juga terkikis
seiring waktu. Hidup juga tak semua dihabiskan dengan celotehan-celotehan
romantika, yang disekitar banyak pula yang menggoda. Mereka lambat laun seperti
tak memiliki arah, bahkan untuk sekedar merencanakan hidup. Sesehari, dan
beberapa waktu kemudian seolah hanya itu-itu saja yang dimaknai dalam hidup.
Monoton.
Persebab itu, aku mungkin
mengangkuhkan diri untuk berjalan dengan peta yang kubuat sendiri. 22 tahun
sudah aku menanjaki pegunungan kehidupan. Dan barangkali, hidup memang banyak
menuntut. Terlalu banyak tuntutan.
Kali ini, aku malas dengan
berbagai romantika kekanak-kanakan. Aku ingin lebih menyeriusi hidup. Ditambah
lagi, kesenangan membaca yang kubangkitkan beberapa waktu ini.
Sastra memang tidak hanya
memberikan keindahan bercerita, namun juga pintar mensisipkan pesan dalam
setiap alurnya. Surat Dahlan, yang kubaca dan kumaknai di setiap rangkai
kejadian tokoh telah banyak membuka jalan atas apa yang menjadi pemaknaan
hidup. Ya, di usia yang memang tak lagi ‘bibit’, Tuhan telah menunjukkan bahwa
tak ada lagi waktu yang ditunda untuk sekadar takut menyeriusi hidup.
“..kita memang terlahir bersamaan dengan rasa takut, tapi kita tetap
harus menyemangati hidup”
Kali ini, aku benar-benar tak
ingin beradu kata terlalu basi. Kamu, sebab dari segala harapan yang kutanam di
kepala, kala itu. Ya, kala itu. Bersamaan dengan rasa takut.
Saat ini, sebenarnya aku ingin
lekas menyelesaikan ‘tanggungan’ studi. Kata ‘tanggungan’ memang layak ku
sematkan. Bukan karena beban, tapi sedikit menghambat cita yang ditabuh
genderang rasa penasaran. Masa depan.
“Rindu memang tak memilih dan memilah kepala untuk menginanginya.
Seenaknya saja menyusupkan diri.”
Ini saat yang aku rindukan.
Saat-saat romantika kembali ingin menagih rasa janji. Kala beradu diri yang
semakin menundukkanku menjadi kerdil, di hadapan Tuhan. Mencintai adalah
fitrah.
Tetiba kemudian, kepala mencibir
dan mengajakku hadir di lembah kenangan.
Betapa bahagia itu sederhana,
ketika hidup telah dilingkari oleh beribu anak muda dengan segala bibit tanaman
yang tumbuh di kepala. Syahdu, kehendak Tuhan melebihi atas kebahagiaan dari
segala kebahagiaan. Menghabiskan pagi di desa peradaban, sampai sehabis petang
menjelang. Bersepeda, dan sesekali berwisata. Di sebuah Gua, yang kunamai Gua
Harapan. Betapa tak khawatir, dalam keadaan berpuasa, kita tengah beradu
mengayuh sepeda hingga sampai pada Gua. Wajahmu pucat, dan dengus nafas tak
beraturan.
Aku tak mau bercerita banyak. Kamulah
persebab atas jalan lapang yang membawaku betah kemari. Sejumput saja mata
beradu, hati sudah tak leluasa menebarkan bara. Namun, waktu mengakhiri tepat
tertanggal 6 Agustus, yang seharusnya terjadwal pada 10 Agustus. Bagiku,
prasasti harus mengenangnya sebagai Hari Duka. Terduduk dalam asrama, dan ku
genggam Al-Quran dengan isak tangis sekembali perpisahan tadi.
Kamu adalah ketabahan yang Tuhan
kirim bersama dengan bibit harapan. Dan Aku, kebun yang kau tumbuhi segala
bibit dengan doa sebagai pupuk peneduhnya.
Ibu bilang, janji adalah hal yang
harus ditepati. Justru karena hal itu, aku tak ingin mudah menjual janji atas
apa yang tak berada diluar kuasaku.
Dulu, semenjak kepulanganmu
kuhadiahi isak tangis, kita pernah sejenak berbicara di teras asrama setelah
lelah bersepeda, jika suatu saat, aku akan berkunjung kesana. Ya, menemuimu,
untuk sekadar mengobati rindu, setelah bertahun dimatikan diam dan rasa
bersalah.
Dini hari ini, sebelum
kuperdengarkan doa kepada Tuhan atas segala harap yang tak mampu kupastikan,
karena semua dalam Kuasa Tuhan, aku ingin lebih menyeriusi hidup. Kadangkali,
aku mengajak imajinasi untuk menghadirkan diri disana. Di tempat kamu
menyinggahi hidup. Bertemu sanak keluargamu, dan sahabatmu yang penuh ramah
menyambut kedatanganku. Sesekali kita habiskan segala waktu di Braga, untuk
sekadar mengobati rasa penasaran. Dengan diri yang penuh siap, bak Dahlan
berteman takut namun memberanikan diri menemui Kai Sabri.
Ah, tapi ini tetaplah hari ini.
Keniscayaan yang memang harus ku terima menantikan masa kelak. Namun Tuhan,
selalu mengirimmu sebagai ketabahan. Dan aku juga tak mau menyakitimu dengan
pahitnya kegetiran merindu terlalu lama. Kamu juga berhak menjalani dan memilih
hidup, apapun itu selalu kuterima sebagai jalan kebahagiaanmu. Karena bertemu
denganmu dulu, sudahlah cukup menjadikanku hari ini dan rencanaku nanti. Aku
hanya bisa menapaki jalan yang Tuhan buat, entah nanti akan Tuhan tetapkan
seperti apa, aku hanya bisa membantuNya dengan doa setulus mungkin. Agar kelak,
jika kita dipisahkan atas ketetapanNya, tak ada rasa sesal sedikitpun. Karena
mencintai Tuhan adalah yang pertama dan utama. Semoga kamu tidak cemburu pada
Tuhan.
Alhamdulillah aku mulai
menyegerakan diri untuk menyelesaikan skripsi. Dan setelah kemarin memegang
amanah pimpinan organisasi, saat ini aku diberikan amanah baru untuk menjadi
asisten Pembantu Dekan III. Mungkin, aku akan menghabiskan masa ini untuk
menyibukkan diri mempersiapkan kesuksesanku. Setelah lulus ini aku ingin
mengabdikan diri sejenak, setelahnya sebagaimana yang pernah kuceritakan
dahulu, aku akan melanjutkan pengembaraan untuk meninggikan ilmu, agar nanti
bisa menjadi pendidik bagi anak didikku di bangku kuliah. Aku tak ingin kalah
dengan kamu yang ingin menjadi guru. Ya, sambil menanti masa, semoga waktu kita
habiskan untuk mencintai diri sejenak. Sebelum Tuhan menetapkan jalan yang
Tuhan kehendaki nanti. Wallahua’lam.
“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah … apa saja yang
menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah … apa yg menyebabkan hati
bimbang dan cemas, meski banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut
merupakan kebaikan.” HR. Muslim.
Aku sedang baik-baik disini, dan
masih setia merawat bibit yang kau tanam dikepalaku. Meski kemarin, aku lalai
tak menyiramnya lama. Tapi kini, bibit layu kembali tumbuh yang kupupuk kembali
dengan doa dan harap kepada Tuhan.
Semoga kamu disana juga baik-baik
saja.
Dini hari, 11 Februari 2014