Selasa, 06 Mei 2014

Kembali Pulang

oleh : Andy Ilman Hakim


“..persis seperti duka lalu, perpisahan kadangkali menyulut rasa kalut.”

Tak banyak manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani dan merencanakan hidup. Seringkali, aku pun merasa, hidup masih terlalu banyak menuntut.  Agar tak lengah sedikitpun dari rel kereta yang sudah jauh-jauh hari kubangun untuk mengitari perjalanan hidup.
Muda belia, banyak dari mereka menikmatinya. Sesuka hati mengundang waku untuk menjemput rindu. Tapi, bagiku, ya hanya bagiku barangkali, pertemuan tak hanya persoal bertatap muka. Lebih dari itu, kita mengenal makna tabah dalam setiap pertemuan.
27 April lalu, kita saling bertatap seolah tak ada hal baru yang membedakan pertemuan kita sebelumnya. Ya, sekitar 2 tahun yang lalu. Saat tangis mengiringi perpisahan.
Masih teringat di Leuwipanjang. Keringat dingin dan nyali menjadi tak bersahabat. Kamu dan akupun, tertegun sejenak mendiami waktu. Bukan persebab kita malu-malu, namun rasa penasaran apakah kita tengah benar-benar bertemu. Mimpi?
Kamu dan aku, di lobby Leuwipanjang. Ya, sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya. Benarkah ini nyata?

Bagiku, barangkali, air mata adalah teman setia; selalu ada bersama duka.”

Di Malang, sudah ada yang tabah menanti kedatanganku. Laptop yang ingin sekali mendengar cerita perjalanan singkat untuk menemuimu. Ia ingin aku mencurahkan segala. Apapun. Ya, seisi kebun-kebun di kepalaku.
Kamu tau apa yang ingin ia dengar?
Sudah kupastikan, namamu adalah yg selalu ingin didengarnya.



Malabar, 1 Mei 2014.

Jumat, 14 Maret 2014

Mahasiswa Kritis, Krisis Identitas!



Malang, 5 Maret 2014

oleh : Andy Ilman Hakim

Bulan-bulan ini adalah bulan kesal bagiku. Mahasiswa, kini memprihatinkan. Terjual oleh kemunafikan akan tumpukan materi. Hilang dan lenyap kini idealisme. Hancur dan bungkam karakter, jiwa muda, dan integritas yang mereka tafsirkan sendiri.

”Cara instan dan transaksional tak akan menghasilkan kepemimpinan yang besar. Mereka hanya akan disibukkan pada satu urusan : Untung-Rugi!”

Ah, tak penting sekali rasanya merongrong keburukan mereka. Tapi, bagaimana dunia kelak?
Setahun merasakan dunia politik kampus sebagai aktor utama memang banyak membelalakkan mata. Bagaimana tidak, orang-orang yang bergelar itu semaunya saja berbuat. Seolah-olah bergerak, berteriak lantang, bahkan terdepan menguncang jalanan. Hasilnya? Nihil.
Bukan tak pantas berbicara begini, tapi sedikitkah tak terbersit pada benak mereka bahwa bagaimana rasanya mendengar janda mencari nafkah hanya untuk sekadar mengabulkan keinginan anak berkuliah. Atau penjual gorengan yang hilang gagasan untuk meratapi kemiskinan hidup demi mimpi anaknya sekolah. Bahkan kuli angkut yang tak terbersit pikir menanggungi biaya jutaan pendidikan tinggi.
Ini dunia pendidikan, bukan pasar komersil. Ini lahan-lahan menuai ilmu, bukan arena beradu siasat sesat. Ini tempat para intelektual meraih Rahmat Tuhan, bukan area mafia menyerakahi dunia.

“Tak ada gelar Maha, semua runtuh jadi Mafia : “Kalau tuan mau, kami kondisikan. Kalau tuan berkenan, kami mau seribu dollar!” (Watak miskin)”

Hei tuan-tuan bergelar, yang kesana-kemari rapat dan berdiskusi. Apa yang kamu bicarakan sebenarnya? Kejayaan Negara? Tokoh-tokoh? Rakyat Kecil? Atau Nasib sesamamu Mahasiswa Fakir?
Percuma kau habiskan waktumu berbicara, sedang uang jadi rebutan matikan karakter. Pentasmu Politik, Arenamu Kampus, Kepentinganmu Milikmu. Nurani tak mampu menyala, redup dimatikan diam!

“Kursi panas akan dingin. Karna dinginnya, pergerakan tak leluasa bergerak. Pasif, lambat laun dimatikan diam. Tuan-tuan, angkat toakmu!”

Mari, disinilah tertunduk, untuk sekadar menyapa Tuhan. Malulah, untuk tengok kembali luka-luka yang pernah disisingkan di lengan-lengan orang kecil pencari penghidupan. Mereka turut dan layak merasakan kenikmatan hidup, sedang kita kadangkali lalai mengurus hidup. Amanah adalah pertanggungjawaban. Jalankan sebagaimana yang harus dijalankan. Ia hanya titipan, yang memang haruslah digunakan pada tempat-tempat yang membutuhkan, bukan yang kita inginkan. Ia dipakai untuk sementara waktu, yang disetiap perjalanannya haruslah dicatat dalam kebaikan-kebaikan, karena pada saatnya, semua akan sirna. Dan, hingga pada akhirnya, hanya antara Engkau dan Tuhan.

Doa dan Harapan



14 Maret 2014

oleh : Andy Ilman Hakim


Dini hari. Ini bukan hanya persoal tentang rindu, tapi lebih dalam. Tak pernah sedikit orang memijakkan diri hanya sekadar untuk menautkan doa. Semenjak doa kunamai harapan, aku tak pernah mendiami waktu untuk sekadar merenung. Kuhabiskan saja waktu berdoa, dan kukunjungi apa yang didunia nyata tak bisa kurengkuh. Dalam banyangan itu, aku bisa berungkap dalam, bisa menatap lekat, dan bisa tersenyum luas. Karena, bagi kita barangkali, pertemuan adalah langka.

Hari ini aku banyak berpikir, mengapa Tuhan tak berhenti memberikan kejutan-kejutan dalam hidup. Tuhan sebegitu sempurna, tak habisnya memberikan apa yang tak mampu kubalas selain rasa syukur. Ia hadapkan diri pada masalah, dan begitu dalam sekejap melecuti masalah-masalah yang baru saja menghinggapi hidup. Adapun tentang keadaan. Baru sehari saja menahan diri dari duniawi, lantas sekejap saja Ia berikan kekuatan dalam batin, kebahagiaan yang tak mampu dieja dalam bahasa, dan pikiran tenang penuh gagasan baru.

Sampai pada dini hari, aku tak pernah sedikitpun menghilangkan kamu memenuhi serabut otak di dalam kebun kepala ini. Ku biarkan kamu hilir mudik dimana kamu ingin hinggap di memori pikir. Aku hanya tak ingin kamu berduka atas apa yang tak bisa kita tampakkan dalam ketidaktahuan. Meski kita mendahulukan prediksi daripada sekadar harus bertemu dan melihatnya secara langsung. Tapi aku menikmati, aku menjalani apa yang memang harus kita jalani saat ini. Berteman sepi, bahkan tak sering kita menghadirkan diri dalam angan. Dalam elegi yang kita ciptakan dalam memori, dengan bait-bait indah yang kita rangkai dalam doa hanya sekadar untuk mengobati, rasa rindu. Ah, terlalu indah bila kuceritakan panjang lebar disini. Tapi benar, aku menikmatinya.

Apa yang banyak mereka bicarakan tentang rasa penasaran, rasa takut, dan rasa berburuk sangka atas apa yang sedang kita jalani. Aku tak sedikitpun menaruh rasa khawatir. Semua sudah kutitipkan pada Sang Pemilik Segala. Rasa penasaran yang biasa mereka alami, hidup yang terlalu banyak mereka habiskan dengan rasa takut, bahkan untuk sekadar berburuk sangka atas apa yang mereka lalui. Namun disini, aku merasa tak memiliki beban atas apa yang banyak mereka ceritakan tentang cinta yang dijauhkan jarak. Bagiku, tak ada jarak yang jauh atas kita, dan tak ada waktu yang lama untuk sekadar ingin bertemu. Semua lenyap dalam doa-doa yang kunamai harapan itu. Di sana, di dalam doa-doa itu, aku bisa sesuka hati bertemu denganmu. Berbicara tentang makna hidup, dan berbagi rasa mensyukuri hidup yang sudah digariskan. Tak ada sedikitpun takut untuk hilang, khawatir tak akan tercapai, atau berburuk sangka atas apa yang tak kita ketahui. Mungkin ini cara Tuhan mengirim ketabahan. Ya, rasa tabah yang mendalam menjajaki waktu demi waktu yang tak sadar sudah banyak kita lalui, masing-masing, di tempat yang berbeda, aku disini dan kamu disana.

Diam bukan berarti tak mengetahui, diam juga tak berarti tak peduli, dan diam barangkali tidak berarti tak memperhatikan. Jauh disini, waktu kuhabiskan untuk tahu, untuk peduli, dan untuk memperhatikanmu, dalam penjagaan Tuhan. Ya, kamu yang juga diam-diam memanjatkan doa, seperti apa yang kupanjatkan. Yang diam-diam mengharapkan, seperti apa yang kuharapkan. Karena hanya bagi kita barangkali, pertemuan tak lagi langka.

Rabu, 12 Februari 2014

Memastikan Arah Jalan



oleh : Andy Ilman Hakim

“Kunamai kepalaku dengan kebun harapan. Kebun yang segala jenis bibit bisa tumbuh disana.” 
(Khrisna Pabhicara, dalam novel Surat Dahlan)

Kupelintir arah berpikir dan mencoba sesekali menjenguk ingatan. Betapa banyak waktu yang sudah kuperbuat, dan membiarkannya menjadi laut kenangan.
Andy Ilman Hakim, begitulah namaku terlahir. Sejak dini, dan hingga saat ini. Masih dan berharap nama itu tetap terkenang, kelak. Mungkin saat dunia sudah meniadakannya.

Berkunjung sejenak di memori pikir yang penuh serabut harap, atas segala mimpi dan duka yang menyelinap diam-diam. Ah, sebegitu hidup ini memaksakan diri. Tak elok rasanya serba menyerakahi alat dan hiasan duniawi. Tapi, manusiawi terkadang memastikan arah jalan tak selamanya benar. Kadang pula berbelok.
Perjalanan hidup barangkali, memang tak seperti apa yang kita bayangkan. Penuh duri. Romantika hanya sesekali hiburan atas pembelajaran hidup, yang lambat laun juga terkikis seiring waktu. Hidup juga tak semua dihabiskan dengan celotehan-celotehan romantika, yang disekitar banyak pula yang menggoda. Mereka lambat laun seperti tak memiliki arah, bahkan untuk sekedar merencanakan hidup. Sesehari, dan beberapa waktu kemudian seolah hanya itu-itu saja yang dimaknai dalam hidup. Monoton.

Persebab itu, aku mungkin mengangkuhkan diri untuk berjalan dengan peta yang kubuat sendiri. 22 tahun sudah aku menanjaki pegunungan kehidupan. Dan barangkali, hidup memang banyak menuntut. Terlalu banyak tuntutan.
Kali ini, aku malas dengan berbagai romantika kekanak-kanakan. Aku ingin lebih menyeriusi hidup. Ditambah lagi, kesenangan membaca yang kubangkitkan beberapa waktu ini.
Sastra memang tidak hanya memberikan keindahan bercerita, namun juga pintar mensisipkan pesan dalam setiap alurnya. Surat Dahlan, yang kubaca dan kumaknai di setiap rangkai kejadian tokoh telah banyak membuka jalan atas apa yang menjadi pemaknaan hidup. Ya, di usia yang memang tak lagi ‘bibit’, Tuhan telah menunjukkan bahwa tak ada lagi waktu yang ditunda untuk sekadar takut menyeriusi hidup.

..kita memang terlahir bersamaan dengan rasa takut, tapi kita tetap harus menyemangati hidup”

Kali ini, aku benar-benar tak ingin beradu kata terlalu basi. Kamu, sebab dari segala harapan yang kutanam di kepala, kala itu. Ya, kala itu. Bersamaan dengan rasa takut.
Saat ini, sebenarnya aku ingin lekas menyelesaikan ‘tanggungan’ studi. Kata ‘tanggungan’ memang layak ku sematkan. Bukan karena beban, tapi sedikit menghambat cita yang ditabuh genderang rasa penasaran. Masa depan.

“Rindu memang tak memilih dan memilah kepala untuk menginanginya. Seenaknya saja menyusupkan diri.”

Ini saat yang aku rindukan. Saat-saat romantika kembali ingin menagih rasa janji. Kala beradu diri yang semakin menundukkanku menjadi kerdil, di hadapan Tuhan. Mencintai adalah fitrah.

Tetiba kemudian, kepala mencibir dan mengajakku hadir di lembah kenangan.
Betapa bahagia itu sederhana, ketika hidup telah dilingkari oleh beribu anak muda dengan segala bibit tanaman yang tumbuh di kepala. Syahdu, kehendak Tuhan melebihi atas kebahagiaan dari segala kebahagiaan. Menghabiskan pagi di desa peradaban, sampai sehabis petang menjelang. Bersepeda, dan sesekali berwisata. Di sebuah Gua, yang kunamai Gua Harapan. Betapa tak khawatir, dalam keadaan berpuasa, kita tengah beradu mengayuh sepeda hingga sampai pada Gua. Wajahmu pucat, dan dengus nafas tak beraturan.
Aku tak mau bercerita banyak. Kamulah persebab atas jalan lapang yang membawaku betah kemari. Sejumput saja mata beradu, hati sudah tak leluasa menebarkan bara. Namun, waktu mengakhiri tepat tertanggal 6 Agustus, yang seharusnya terjadwal pada 10 Agustus. Bagiku, prasasti harus mengenangnya sebagai Hari Duka. Terduduk dalam asrama, dan ku genggam Al-Quran dengan isak tangis sekembali perpisahan tadi.
Kamu adalah ketabahan yang Tuhan kirim bersama dengan bibit harapan. Dan Aku, kebun yang kau tumbuhi segala bibit dengan doa sebagai pupuk peneduhnya.

Ibu bilang, janji adalah hal yang harus ditepati. Justru karena hal itu, aku tak ingin mudah menjual janji atas apa yang tak berada diluar kuasaku.
Dulu, semenjak kepulanganmu kuhadiahi isak tangis, kita pernah sejenak berbicara di teras asrama setelah lelah bersepeda, jika suatu saat, aku akan berkunjung kesana. Ya, menemuimu, untuk sekadar mengobati rindu, setelah bertahun dimatikan diam dan rasa bersalah.

Dini hari ini, sebelum kuperdengarkan doa kepada Tuhan atas segala harap yang tak mampu kupastikan, karena semua dalam Kuasa Tuhan, aku ingin lebih menyeriusi hidup. Kadangkali, aku mengajak imajinasi untuk menghadirkan diri disana. Di tempat kamu menyinggahi hidup. Bertemu sanak keluargamu, dan sahabatmu yang penuh ramah menyambut kedatanganku. Sesekali kita habiskan segala waktu di Braga, untuk sekadar mengobati rasa penasaran. Dengan diri yang penuh siap, bak Dahlan berteman takut namun memberanikan diri menemui Kai Sabri.

Ah, tapi ini tetaplah hari ini. Keniscayaan yang memang harus ku terima menantikan masa kelak. Namun Tuhan, selalu mengirimmu sebagai ketabahan. Dan aku juga tak mau menyakitimu dengan pahitnya kegetiran merindu terlalu lama. Kamu juga berhak menjalani dan memilih hidup, apapun itu selalu kuterima sebagai jalan kebahagiaanmu. Karena bertemu denganmu dulu, sudahlah cukup menjadikanku hari ini dan rencanaku nanti. Aku hanya bisa menapaki jalan yang Tuhan buat, entah nanti akan Tuhan tetapkan seperti apa, aku hanya bisa membantuNya dengan doa setulus mungkin. Agar kelak, jika kita dipisahkan atas ketetapanNya, tak ada rasa sesal sedikitpun. Karena mencintai Tuhan adalah yang pertama dan utama. Semoga kamu tidak cemburu pada Tuhan.

Alhamdulillah aku mulai menyegerakan diri untuk menyelesaikan skripsi. Dan setelah kemarin memegang amanah pimpinan organisasi, saat ini aku diberikan amanah baru untuk menjadi asisten Pembantu Dekan III. Mungkin, aku akan menghabiskan masa ini untuk menyibukkan diri mempersiapkan kesuksesanku. Setelah lulus ini aku ingin mengabdikan diri sejenak, setelahnya sebagaimana yang pernah kuceritakan dahulu, aku akan melanjutkan pengembaraan untuk meninggikan ilmu, agar nanti bisa menjadi pendidik bagi anak didikku di bangku kuliah. Aku tak ingin kalah dengan kamu yang ingin menjadi guru. Ya, sambil menanti masa, semoga waktu kita habiskan untuk mencintai diri sejenak. Sebelum Tuhan menetapkan jalan yang Tuhan kehendaki nanti. Wallahua’lam.

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah … apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah … apa yg menyebabkan hati bimbang dan cemas, meski banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” HR. Muslim.

Aku sedang baik-baik disini, dan masih setia merawat bibit yang kau tanam dikepalaku. Meski kemarin, aku lalai tak menyiramnya lama. Tapi kini, bibit layu kembali tumbuh yang kupupuk kembali dengan doa dan harap kepada Tuhan.
Semoga kamu disana juga baik-baik saja.


Dini hari, 11 Februari 2014

Minggu, 06 Januari 2013

Masa Muda?

Masa Muda?
Entahlah, bagaimana dunia melihat masa mudaku? Sempat terfikir, mengapa aku tidak merasa seperti kebanyakan orang lain. Dan seringkali mengasingkan diri dan berpura-pura seperti layaknya mereka.

Entahlah, bagaimana angin memutar keadaan masa mudaku? Kadangkali, waktu begitu berjalan terlalu cepat, dan kadang begitu lama untuk beranjak ke keadaan baru. Bahkan, tak jarang aku menutupi kerapuhan.

Entahlah, bagaimana air mengarahkan masa mudaku? Tiap malam selalu saja mengambil waktu untuk merenungkan masa lalu, dan masa depanku kelak. Namun, aku saja masih merasa asing dengan diri sendiri.

Satu hal terakhir yang ku ingat, ibu melarangku untuk tidak menjalin hubungan spesial dengan perempuan manapun. Ya, Larangan untuk berpacaran! Sejak aku merasa besar dan memulai segalanya dengan mandiri, tak pernah sekalipun bermaksud untuk berbohong pada orang tua, apalagi mencoba tak mengindahkan nasehat-nasehat ibu. Mungkin ini hal yang ku pegang bahwa patuh pada orang tua pasti akan membawa pada kebaikan, dan kesuksesan kelak.

Tapi, satu hal yang terkadang menguji. Kadangkali, inilah yang membuatku merasa asing dengan masa muda. Mengapa aku terlalu keras pada diriku sendiri. Dan tak sedikitpun memberi celah untuk berbuat hal yang sesekali mungkin dilakukan anak muda pada umumnya. Seperti halnya berpacaran lagi, dan lagi. Namun, memang harus diakui bahwa aku tak lihai dalam hal itu, terlalu kaku dan bodoh untuk menjadi seorang kekasih. Atau memang karena aku sendiri tidak betul-betul mengenal apa sebenarnya itu pacaran dan memaknai cinta seperti orang lain katakan. Ah… se’katrok’ itukah aku? Atau zaman ini zaman katrok?

Setidaknya dari sini aku belajar dan mulai meyakini bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dan aku telah membuktikannya.

Sekali lagi memikirkan petuah ibu, bahwa aku tak boleh lagi berpacaran. Benar memang, sejak ibu memberi petuah itu aku mulai takut untuk mencintai perempuan. Meski terkadang, naluri laki-laki untuk mencintai seorang perempuan sesekali bergejolak. Untuk menahannya, sekali lagi aku tanyakan pada diri sendiri, sudah siapkah? Apa yang ku cari dari pacaran? Nothing!

Benar memang, aku pribadi belum merasa siap, dan tak menemukan jawaban jelas apa alasan untuk kemudian berpacaran. Tapi keadaan di antara naluri laki-laki dan petuah itu memposisikan diriku dalam peperangan batin, keduanya selalu bertaut.

Mungkin, inilah yang dinamakan mencintai dalam diam. Memang harus kunikmati kenyataan ini, karena pengalaman lalu tak lagi memberiku jalan. Dan secara jujur kukatakan, secara terpaksa ini harus kujalani, nasehat ibu. Meski memang dirasa berat, terpaksa sekalipun, pasti akan terbiasa dengan sendirinya.

Beberapa bulan ini sudah ku jalani, awalnya memang terlihat abnormal, karena mungkin aku terlalu keras menerapkannya pada diri. Dan kali ini yang tidak bisa kupungkiri, aku merasa takut untuk jatuh cinta meskipun diam-diam harus diakui bahwa wajar manakala sekedar menyukai seseorang. Tapi begitu setiap kali muncul urusan hati, begitu cepat sekali pertahanan diri menangkisnya. Lagi-lagi harus meredam untuk mematikan apa itu yang dinamakan mencintai.

Malam ini, tepat hari ini, kondisi fisik dan psikis memang harus berhenti untuk menuruti perang batin, menghentikan lagi permberontakan hati. Aku harus berhenti, dan memanglah harus berhenti mencari-cari alasan untuk membunuh perlahan demi perlahan prinsip yang sudah kutanam sejak kecil dahulu.

Kembali ku yakinkan pada diri, bahwa beginilah faktanya aku terlahir, dan tidak akan pernah sedikitpun untuk merubahnya secara menyeluruh. Aku meyakini bahwa setiap orang terlahir dengan garis hidup yang sudah ditetapkanNya. Dan inilah yang perlahan ku pahami, bahwa apa yang ku alami dahulu dan keadaanku sekarang adalah perjalanan garis yang sudah diperuntukkan untuk menjadi jalan hidupku.

Saat ini dan ke depan, aku hanya ingin berdoa dan berharap bahwa di masa-masa muda ini, semoga aku senantiasa diingatkan Tuhan melalui kekuatan batin untuk memfokuskan diri pada studi dan pencapaian karir. Aku hanya tidak ingin jatuh cinta di usia yang salah, karena jika hal dimulai oleh hal yang tidak tepat maka hasilnya pun tidak akan seperti apa yang ingin kita capai.

Aku tidak sendiri, dan tidak akan pernah merasa sendiri. Kelak, pasti akan ada waktunya  tersendiri bagiku untuk memikirkan apa itu jodoh. Saat ini otak harus ku atur sepenuhnya untuk pencapaian mimpi-mimpi kesuksesan yang harus kucapai hingga saatnya nanti keadaan dan usia yang mengarahkanku pada apa yang dinamakan jatuh cinta yang sebenar-benarnya jatuh cinta.

Memang harus diakui, rasa syukur kepada Tuhan, keluarga, dan pengalaman haruslah kulakukan sebagai bentuk terima kasih atas segala pembelajaran selama ini.

Sebagai penutup,
Mungkin aku akan lelah, lengah, dan merasa bersalah, namun sekali lagi ku yakini dalam doa, selama kebaikan yang ku tanam, maka Tuhan akan memberikan buah kebaikan padaku, dan jalan hidupku.

22.40
31/10/2012

Minggu, 28 Oktober 2012

REFLEKSI 1 Tahun HEGEMONI 
 
Orang akan sangat kritis melihat lawannya sedang salah, tetapi mengapa ia bungkam seribu bahasa saat kawan sendiri berbuat salah?

Mereka bergerilya mencari suara, hanya untuk eksistensi. Mereka berbicara perjuangan, namun bukan pengabdian. Lantas perjuangan untuk siapa?

Anda boleh berbangga sejarah mencatat jatuhnya rezim lama, tapi haruslah diingat sejarah juga mencatat rezim baru tak juga lebih baik.

Masihkah ingat kebahagiaan yang terluapkan di saat detik-detik hegemoni tercipta? Andai kebahagiaan itu juga dirasakan oleh semua, saat ini.

Seharusnya euforia kala itu tidak membutakan diri, sayangnya naluri kekuasaan terlalu tebal menutup mata.

Mungkin ini yang dinamakan peluruhan idealisme, sampai harga sebongkah kursi harus mengorbankan hak puluhan ribu orang.

Apa yang mereka cari? Hingga retorika begitu halus menyihir, baku hantam menjadi andalan, dan kegagalan hanya bukti prestasi akhir.

Ini hanyalah sajak-sajak kecil, yang dimatikan oleh diam. Namun, diam-diam bergejolak, malam ini.

Harusnya, sesekali kita berkaca. Agar tidak selalu menganggap diri adalah benar. Bukankah seringkali kita salah? Sayangnya, hegemoni menutupinya.

Kesalahan mengajarkan kita memaknai kebenaran.