Minggu, 28 Oktober 2012

REFLEKSI 1 Tahun HEGEMONI 
 
Orang akan sangat kritis melihat lawannya sedang salah, tetapi mengapa ia bungkam seribu bahasa saat kawan sendiri berbuat salah?

Mereka bergerilya mencari suara, hanya untuk eksistensi. Mereka berbicara perjuangan, namun bukan pengabdian. Lantas perjuangan untuk siapa?

Anda boleh berbangga sejarah mencatat jatuhnya rezim lama, tapi haruslah diingat sejarah juga mencatat rezim baru tak juga lebih baik.

Masihkah ingat kebahagiaan yang terluapkan di saat detik-detik hegemoni tercipta? Andai kebahagiaan itu juga dirasakan oleh semua, saat ini.

Seharusnya euforia kala itu tidak membutakan diri, sayangnya naluri kekuasaan terlalu tebal menutup mata.

Mungkin ini yang dinamakan peluruhan idealisme, sampai harga sebongkah kursi harus mengorbankan hak puluhan ribu orang.

Apa yang mereka cari? Hingga retorika begitu halus menyihir, baku hantam menjadi andalan, dan kegagalan hanya bukti prestasi akhir.

Ini hanyalah sajak-sajak kecil, yang dimatikan oleh diam. Namun, diam-diam bergejolak, malam ini.

Harusnya, sesekali kita berkaca. Agar tidak selalu menganggap diri adalah benar. Bukankah seringkali kita salah? Sayangnya, hegemoni menutupinya.

Kesalahan mengajarkan kita memaknai kebenaran.

Hampir Setahun Lalu


Hampir setahun lalu,
Begitu rumah kurindukan, bermainan di depan jamahan mata.
Dan cukuplah tiga jam saja untuk mencapainya, rumah tercinta.
Barangkali, berbeda cerita moment kali ini,
bahkan logika pun enggan menerima.
Saat suatu hal dirasa asing dan tak ingin dijamah, dan tiba-tiba menjadi sesuatu kesayangan, tak ingin terlepas.
Sambil mengucap syukur, ku parkir saja motor kesayangan di atas pijakan teras dan mungkin itu satu-satunya barang yang setia ada, kala itu.
Langsung saja bergegas memasuki reruang rumah yang beberapa bulan lamanya ku tinggal.
Tempat peneduh rasa, dan arena pertarungan diri, apapun itu.
Dan detik-detik di saat mulai memasuki zona ruang nostalgia, kamar tidur.
Mungkin ini kali pertama ku dipertemukan.
Sebuah balok bertautkan besi kecil memanjang, dan ku beradu tatap hewan yang selama ini tak ku inginkan kehadirannya, apalagi di dekatnya, dahulu.
Namun, mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ncus, kucing peliharaan  baru yang tiba-tiba saja berada di dalam kamarku dan entah siapa yang menaruhnya.
Usut-punya usut, ayah membelinya karena keelokan kucing ini yang tak seperti kucing pada umumnya, pandangku.
Langsung saja kuletakkan seluruh barang yang melekati tubuh, dan mendekatinya dengan riang, sambil memainkan jemari menyusuri lembut bulu mungilnya.
Senyum simpul tampak di rautan kening, dan kelopak mata hilir mudik memberikan pesan kegembiraan. Menampakkan bahwa kucing ini sedang senang.
Sambil ku goda paras manisnya, dan memanjakannya dengan rayuan penuh kasih.
Mulailah itu, detik-detik cinta pertama, bersama kucing yang ku ikrarkan sebagai  hewan yang kusayang, begitu ku sayang.
dan.. Hampir setahun lalu.