REFLEKSI 1 Tahun HEGEMONI
Orang akan sangat kritis melihat lawannya
sedang salah, tetapi mengapa ia bungkam seribu bahasa saat kawan sendiri
berbuat salah?
Mereka bergerilya mencari suara, hanya untuk
eksistensi. Mereka berbicara perjuangan, namun bukan pengabdian. Lantas perjuangan
untuk siapa?
Anda boleh berbangga sejarah mencatat jatuhnya
rezim lama, tapi haruslah diingat sejarah juga mencatat rezim baru tak juga
lebih baik.
Masihkah ingat kebahagiaan yang terluapkan di
saat detik-detik hegemoni tercipta? Andai kebahagiaan itu juga dirasakan oleh
semua, saat ini.
Seharusnya euforia kala itu tidak membutakan
diri, sayangnya naluri kekuasaan terlalu tebal menutup mata.
Mungkin ini yang dinamakan peluruhan
idealisme, sampai harga sebongkah kursi harus mengorbankan hak puluhan ribu
orang.
Apa yang mereka cari? Hingga retorika begitu
halus menyihir, baku hantam menjadi andalan, dan kegagalan hanya bukti prestasi
akhir.
Ini hanyalah sajak-sajak kecil, yang dimatikan
oleh diam. Namun, diam-diam bergejolak, malam ini.
Harusnya, sesekali kita berkaca. Agar tidak
selalu menganggap diri adalah benar. Bukankah seringkali kita salah? Sayangnya,
hegemoni menutupinya.
Kesalahan mengajarkan kita memaknai kebenaran.
