Sabtu, 22 September 2012

Konspirasi Sederhana!

Saturday, 22 September 2012

Malam ini, memang seperti malam-malam lalu.
kali ini otak memang selalu tersetting rapi dengan berbagai analisis-analisis sederhana mengenai dunia keilmuan politik.
Tidak sedang mengerjakan tugas, ataupun project perencanaan.
Hanya memang terbiasa memanjakan penalaran pikir liar yang tiap menjelang tidur malam selalu mengkudeta dengan kemampuan hegemoninya.
Konspirasi Sederhana!
The Recruit, dalam bahasa bangsa tercinta itu termaknai sebagai Perekrut.
Sebuah film sederhana, salah satu yang mewakili keseluruhan film barat, dalam bingkai cerita berserabut dan menyimpan makna tersirat yang sebenarnya.
Sekilas saya berpikir begitu pintarnya pola pikir para creator film barat.
Mengimajinasikan helai-helai neuron berjalan mengikuti alurnya.
Menciptakan sebuah karya yang bagi orang awam akan memuji hasil karyanya.
Mengikuti step by step perjalanan cerita, dan menelan begitu saja kapabilitas para lakon.
Bagiku itu hanya bagian sampul dari pesan yang tersampaikan.
Lebih dalam dari itu, jauh lebih dalam, inilah cara negara penguasa memainkan perannya secara kasat mata.
Menyerang dunia psikis, mencoba membedah naluri pikir, dan mencuci karakter perlahan secara halus dalam alam bawah sadar.
Saya menyebutnya, inilah modus Imperialisme Baru!
Bentuk-bentuk penjajahan karakter, dalam kurun waktu tertentu, dan secara tidak sadar kita berada dalam genggaman mereka.
Sangat halus sekali, terlihat fiktif namun kefiktifan itulah sebuah rekayasa fakta.
Sadarlah, kita tengah diserang di seluruh lini, dan utamanya adalah kudeta karakter.
Konspirasi Sederhana!
Kecintaanku pada Indonesia tak akan sedikitpun pudar, meski sejengkal pikiranku termakan bualan kosong konspirasi, dan sayangnya sudah kuketahui itu!

Sabtu, 15 September 2012

BERBICARA PERJUANGAN GENERASI MUDA
Penulis : Andy Ilman Hakim
Mahasiswa Ilmu Politik
Universitas Brawijaya


"aku merasa larut terlalu dalam sejak awal, hingga ku tahu alur perjalanannya..
Hanya bisa diam, sesekali merenung"

Banyak dari mereka bersuara lantang, tapi ia tak sadar dengan kekosongannya. Banyak dari mereka berbicara citra hanya sekedar perantara buah bibir orang-orang. Kebenaran adalah kebenaran, bukan lagi otoritas dan keberpihakan belaka. Kenyataan adalah benar adanya,bukan kesemuan yang ada. Mereka hanya berbicara berlarut-larut. Hanya sepatah dua kata yg bersindiran. Berbicara orang-orang yang tak berdosa,dan menjadi dosa karena ketidaktahuannya. Yang tampak seperti lintah-lintah darat yang seolah-olah haus akan kedudukan kekuasaan. Dan sebenarnya, ada yang mengendalikan kita. Mengendalikan ketidaktahuan kita. Di balik layar itu !
Aku tahu dan memahaminya. Kita hanyalah korban tangan-tangan berkepentingan pribadi yang sebenarnya. Kita, korban yang terselamatkan dan kini menentang diam-diam. Jangan tengok permukaan, telaahlah lebih dalam,jauh lebih dalam. Disanalah tempat mereka mempermainkan kita.Mengadudombakan kita, atas nama diri kita sendiri.
Ironis sekali melihat kenyataan di depan mata. Generasi muda yang seharusnya dipersiapkan untuk mengisi kekosongan bangsa,kini harus menelan pil pahit dari budaya yang dibentuk sejarah. Berawal dari diskusi bertemakan politik kampus, ternyata tak ada bedanya berbicara kehidupan politik bangsa saat ini. Pikiran terbentuk atas pandangan dan pendengaran alam sadar kita,dan perlahan akan masuk ke dalam alam bawah sadar kita.
Kita berada dalam satu perjuangan,dalam satu wadah. Hanya saja,jalur perjuangan kita berbeda.
Mereka yang aksi dan harus memperjuangkan nasib rakyat indonesia,itulah cara mereka.
Mereka yang fokus memperdalam pendidikan dan berjuang melawan kebodohan bangsa,itulah cara mereka.
Mereka yang menulis dan menggoreskan tinta dalam kertas datar dengan harapan perubahan bangsa lebih indah,itulah cara mereka.
Dan semua, satu tujuan, untuk kebaikan,untuk kesejahteraan bangsa.
Lantas mengapa kita harus mempertentangkan perbedaan, dengan dalih adanya kepentingan. Bukankah Mahatma Gandhi berkata bahwa setiap orang memiliki kepentingan. Dan kita semua sadar akan itu. Hanya saja yang membedakan adalah dimana sifat kepentingan tersebut,dan termasuk ke dalam klasifikasi apa.
Jangan memandang kepentingan sebagai peluru tajam yang akan menghunus dadamu. Karena tak semua kepentingan seseorang,akan memindahkanmu dalam tataran sosial terendah. Kita makan adalah kepentingan,memperoleh pendidikan adalah kepentingan,mendapat jabatan juga kepentingan. Dan yang membedakan adalah bagaimana cara yang digunakan untuk mencapainya dan menjalankannya.
Dekatilah dan lihat perlahan,duduklah dengan kebenaran dan terjunlah langsung ke dalam. Baru kau berhak menilai. Jangan pukul rata semua kepentingan,karna men-generalisir-suatu hal akan merugikan kita sendiri,merugikan saudara dan bangsa kita sendiri. Tidak akan ada perubahan, jika satu sama lain akan saling menjatuhkan hanya karena egoisitas kita terhadap suatu hal yang tak pasti tidak bisa terkendali. Hingga kesan yang timbul adalah saling menjatuhkan harga diri secara masal. Yang nantinya akan mencapai puncak klimaks yaitu jika mengambil kutipan Zainuddin Maliki dalam bukunya yg berjudul Politikus Busuk, kita tengah dilanda krisis kepercayaan atau disebut dengan masyarakat Zero Trust.
Jika generasi muda sudah mulai tertular hal itu,bagaimana nasib bangsa dan dimana letak makna perjuangan untuk bersatu?
Biarkanlah mereka yang mempertentangkan sesama bangsa sendiri bertindak atas ego politik mereka. Jika memang seperti ini keadaannya. Berharap waktu perlahan mengikis ego itu, dan menyadarkannya bahwa berbeda dalam persatuan itu akan lebih indah dengan penghormatan sesama.
Kalian yg berjuang,berjuanglah bersama kita,kita yg benar-benar berjuang,dan melepas sejenak ego pribadi. Berhentilah membeda-bedakan,karna memang kenyataannya kita sudah berbeda. Namun bukan berarti berbeda tidak dapat bersatu.
Para leluhur kemerdekaan kita,Bung Karno,Bung Hatta,Bung Sjahrir,Jenderal Sudirman,dan tokoh perjuangan masa lalu,bukankah hidup dalam perbedaan? Dan mereka mampu memerdekakan bangsa dari tangan penjajah dengan semangat persatuan bangsa. Hingga tercetuskanlah Bhineka Tunggal Ika.
Berbeda-beda tetapi tetap satu jua !
"Disini.. duduklah di sampingku,jangan pernah beranjak.
Tetaplah bersamaku menengok kenyataan di depan mata kita, dan kau akan tau yang sebenarnya"..
(terinspirasi dari keadaan politik kampus yg menghawatirkan penulis terhadap keadaan bangsa ke depan)

22 Juli 2011

Rabu, 12 September 2012


REKAM JEJAK LAHIRNYA DEMOKRATISASI PASCA ORDE BARU :
TARIK ULUR KEPENTINGAN PENGUASA DALAM PARLEMEN
(Studi Kasus Rapat Sidang Paripurna DPR RI Mengenai RAPBN-P 2012)
Penulis : Andy Ilman Hakim
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang

            Era reformasi 1998 ditandai oleh pelengseran rezim monolitik. Bangsa Indonesia lalu memulai era baru dengan semangat membangun sistem yang demokratis. Era baru tersebut nampak seperti lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi seluruh elemen masyarakat dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Sudah tentu dalam perkembangan demikian, segala akses kebebasan memiliki ruang yang begitu besar. Kebebasan berpendapat di ruang publik, keterbukaan informasi, partisipasi politik, hingga kebebasan ‘kebablasan’.
Pembenahan reformasi dimulai dari perbaikan sistem bernegara melalui reformasi UUD. Satu poin pembenahan sistem inilah yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan demokrasi. Reformasi UUD sebagai sebuah sistem baru menjadi sangat vital. Logikanya, jika sistem dibentuk atas dasar kepentingan kolektif maka yang mendapat manfaat adalah masyarakat secara luas. Sebaliknya, manakala sistem dibentuk atas dasar kepentingan segelintir orang maka yang terjadi adalah pemanfaatan sepihak. Ini yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya sebuah sistem demokrasi kriminal atau demokrasi para mafia.
            Permasalahan utama perjalanan demokrasi terletak pada reformasi konstitusi tersebut. Penulis menjelaskan adanya kesenjangan regulasi yang tidak sejalan dan berdampak pada relasi antar sistem. Seperti sistem yang membagi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pada kenyataannya konsep koalisi menandakan bahwa masih adanya hubungan yang erat antara kekuasaan presiden dan parlemen sehingga berdampak pada pengerucutan dan atau pembengkakan kewenangan eksekutif akibat bayang-banyang parlemen koalisi. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi konstitusi dapat dikatakan belum berhasil terbukti dari keadaan sistem yang masih semu.
Salah satu contoh kesenjangan sistem terlihat dari bagaimana relasi antar lembaga negara Eksekutif-Legislatif dalam penetapan kebijakan yang dinilai krusial, salah satunya terkait Bahan Bakar Minyak (BBM). Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dikejutkan oleh wacana kenaikan BBM. Kebijakan pemerintah dalam hal kenaikan BBM banyak melahirkan pro-kontra di setiap elemen masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa aliansi mahasiswa dan masyarakat secara serentak menyerukan aksi menolak kenaikan harga BBM. Suasana begitu memanas saat ribuan mahasiswa dan masyarakat melakukan demonstrasi di depan gedung DPR seraya menegaskan bahwa masyarakat Indonesia menolak kenaikan harga BBM.

Disfungsi dan Disorientasi Legislatif-Eksekutif
            Ini yang kemudian menarik jika kita bandingkan dengan keadaan Negara Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah kedaulatan Rakyat sudah benar-benar berdaulat melalui amanat yang dimandatkan kepada kedua lembaga Eksekutif dan Legislatif ? Mari kita analisis bersama melalui studi kasus pengambilan kebijakan yang menjadi perhatian masyarakat luas yaitu ketika rapat Sidang Paripurna DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang APBN Perubahan tahun 2012 (RAPBN-P).
Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia menganut Sistem pemerintahan Presidensial, dimana kekuasaan Eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan Legislatif. Sistem ini secara jelas menempatkan pembagian kekuasaan antara Eksekutif dan Legislatif. Presiden bertanggungjawab terhadap kabinetnya, dan menteri-menteri merupakan pembantu Presiden. Hal ini sangat jelas bahwa Pemerintah dalam lembaga Eksekutif tidak bertanggungjawab kepada Parlemen, dan Parlemen juga tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah. Sehingga sangat jelas bahwa pembagian kekuasaan begitu terlihat menempatkan porsi masing-masing kedua lembaga negara ini untuk menjalankan tugasnya.
            Menurut Rod Hague, sistem pemerintahan presidensial terdiri atas 3 unsur. Pertama presiden dipilih oleh rakyat untuk memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan terkait. Kedua Presiden dengan Parlemen memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan. Ketiga tidak adanya status tumpang tindih antara Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Dari ketiga unsur diatas Presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan. Namun mekanisme pengontrolan Presiden dapat dilakukan manakala Presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan yang perlu digarisbawahi adalah terlibat masalah kriminal. Jika presiden melakukan beberapa hal di atas maka sewaktu-waktu posisi Presiden dapat dijatuhkan, inilah yang kemudian menjadi batasan Presiden.
            Namun jika kita telaah lebih dalam, melihat hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam menyikapi proses kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) begitu mengecewakan. Berawal dari isu kenaikan BBM, mulai tampak banyak sekali kepentingan-kepentingan politik yang muncul di atas permukaan. Dua blok besar Koalisi dan Oposisi pemerintah begitu berperan besar dalam permainan drama politik tersebut. Partai Demokrat, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PKS yang tergabung dalam koalisi harus bersitegang menyikapi internal koalisi. Sedangkan PDI-P yang merupakan oposisi pemerintah begitu tegas menyuarakan aksi penolakan.
            Rapat Sidang Paripurna DPR RI mengenai RAPBN-P 2012 menjadi ajang pembuktian para anggota parlemen. Adanya tambahan ayat yaitu pada Pasal 7 Ayat 6 A RAPBN-P mengindikasikan bagaimana kepentingan penguasa begitu melekat erat dalam parlemen. Dalam ayat 6 A ini disebutkan “ Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 5 persen dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaianharga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.”[1]
            Keberadaan ayat tambahan tersebut diatas menjadi persoalan utama yang perlu dikaji sebagai sudut pandang untuk melihat disfungsi dan disorientasi Eksekutif-Legislatif. Sistem pemerintahan kita mengatur secara jelas pembagian kewenangan pemerintah dan parlemen. Namun melihat fenomena diatas yang terlihat adalah tumpang tindih kewenangan kedua lembaga negara tersebut yang justru bukan cerminan sistem presidensial. Ayat tambahan yang merupakan ayat ‘titipan’ pemerintah begitu jelas memperlihatkan bahwa pemerintah dan parlemen saling talik ulur demi kepentingan sepihak. Hal ini juga memperlihatkan bahwa kedaulatan rakyat sudah tidak lagi diperdulikan, dikesampingkan, bahkan dilupakan.

Pengalihan Isu untuk Menutupi Dosa Penguasa
            Mengamati isu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah tentunya menjadi hal biasa bagi para pengamat politik di negara kita. Salah satu pengamat politik Alwan Rikun, kenaikan BBM hanyalah sekadar pengalihan isu. Ia membenarkan bahwa isu kenaikan BBM ini bukan merupakan salah satu persoalan yang urgent untuk disorot secara mendalam, namun persoalan penyelesaian korupsi yang perlu dipertamakan dan diutamakan. Isu kenaikan BBM ini hanyalah langkah menutupi isu-isu yang sebelumnya mencuat yaitu indikasi korupsi yang banyak menggerogoti pejabat pemerintahan. Memang sudah menjadi hal biasa manakala di setiap momentum penting selalu dipolitisir salah satunya dengan pengalihan isu tersebut.
            Langkah-langkah kebijakan terkadang sengaja dijadikan kontroversi untuk mempropaganda masyarakat luas agar perhatian mereka terfokus pada agenda yang di setting oleh pembuat isu, tentunya dari pihak yang memiki kepentingan politik. Ini yang kemudian saya ungkapkan bahwa pengalihan isu dapat dikatakan sebagai media untuk menutupi dosa penguasa. Bagaimana tidak, hanya selang beberapa bulan yang lalu, kita dihadapkan oleh kasus korupsi dan kebobrokan partai politik serta pejabat pemerintahan. Namun tak sampai tuntas permasalahannya, beberapa isu kemudian beralih menjadi perhatian publik.
            Kita seolah-olah berada dalam permainan drama yang sudah tersetting rapi oleh elite politik. Dalam bingkai nasional, mereka begitu mudah memerankan tokoh protagonis yang sebenarnya moral mereka sangatlah cacat. Elite politik berkepentingan meletakkan birokrasi sebagai lahan pengerukan uang. Dan kemudian dengan pola-pola tertentu ia mencoba menyucikan diri agar terhindar dari regulasi yang mengikat. Inilah yang kemudian menjadi alat untuk membuat mereka terhindar dari jeruji besi.

Keep Fighting for the Better Indonesia!
Melihat realita di atas saya begitu prihatin melihat keadaan bangsa ini ke depan khususnya pasca orde baru. Era reformasi yang seharusnya menjadi kesempatan memperbaharui wajah bangsa semakin baik setelah sekian lama terpuruk. Kesempatan yang seharusnya tidak disia-siakan oleh para negarawan yang peduli pada bangsa, akademisi yang memperkuat sendi-sendi pengetahuan, generasi tua pemberi tauladan, dan generasi bangsa yang memperkuat fondasi negara. Namun pada kenyataannya jauh dari apa yang diharapkan.
Para elite politik yang merupakan aktor-aktor yang menjalankan kehidupan politik sangatlah merugikan bangsa. Partai politik bukan lagi sebagai media pencerdas masyarakat atau saluran penyalur aspirasi rakyat. Para generasi muda telah mengalami degradasi moralitas. Bangsa ini telah mengidap penyakit yang semakin akut yang diwarisi orde baru. KKN sudah membudaya, dan menjadi kejahatan sistemik. Seolah kita dihadapkan pada permasalahan yang tak kunjung usai, bahkan semakin memprihatinkan dengan adanya pola-pola baru praktik mafia peradilan maupun mafia politik. Maka jangan heran jika demonstrasi sangat sering terjadi di negeri ini. Seperti apa yang dikemukakan oleh Dr. Zainuddin Maliki dalam bukunya Politikus Busuk dijelaskan bahwa saat ini kita menyaksikan adanya persebaran rasa tidak percaya yang terus meluas kepada para pemimpin yang ditandai dengan semakin maraknya berbagai gerakan protes.[2]
Pada penutup saya masih menyisakan keoptimisan bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi. Berkaca pada pemikiran Prof. Dr. Syamsuddin Haris mengenai solusi bahwa penguatan civil society dan political society perlu dibangun karena hal itu menjadi kunci demokrasi yang lebih prospektif bagi Indonesia ke depan. Mengapa demikian? Karena dengan meningkatnya kapabilitas civil society akan meningkat pula check and balances dalam kehidupan politik. Di samping menguatnya peran masyarakat sipil yang meningkat, indikasi praktik-praktik kriminalitas oleh pejabat negara dapat diminimalisir. Hal inilah yang akan menjadikan sendi-sendi kehidupan dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan demokrasi sebenarnya. Meminjam istilah Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., keep fighting for the better Indonesia!


SUMBER TULISAN
Sumber Buku :
Faiz, Elza dan Susanto, Agus. 2011. Penyuara Nurani Keadilan : Biografi Busyro Muqoddas. Jakarta : Erlangga
Indrayana, Denny. 2011. Cerita di Balik Berita : Jihad Melawan Mafia. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
Maliki, Zainuddin. 2004. Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik. Yogyakarta : Galang Press
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik : Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta : C A P S
Sumber Online :
http://news.detik.com/read/2012/03/30/085418/1880811/10/?992204topnews



[1] Diakses dari internet pada tanggal 8 April 2012 http://news.detik.com/read/2012/03/30/085418/1880811/10/?992204topnews
[2] Maliki, Zainuddin. 2004. Politikus Busuk. Yogyakarta : Galang Press, hlm : 23.

DISTRIBUSI KEKUASAAN

Pengaruh Kombinasi Figur Politisi – Profesional dalam Penguatan Kabinet Pemerintahan
Penulis : Andy Ilman Hakim

            Dewasa ini politik dipandang sebagai wahana perebutan kekuasaan. Para elite politik memandang politik sebagai tata cara pencapaian tujuan, yang tak lain adalah kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan (Miriam Budiardjo, 1984).
Entah bagaimana caranya, dalam kehidupan politik yang kita lihat saat ini, mereka soalah menghalalkan segala cara terhadap pencapaian tersebut. Kekuasaan yang identik akan pemenuhan kepentingan pribadi maupun group interest atau kelompok kepentingan. Sehingga mengesampingkan nilai-nilai politik yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama, yaitu kehidupan politik yang melahirkan nuansa kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
            Tujuan-tujuan politik secara teoritis selalu menempatkan kesejahteraan bersama sebagai goal dari sebuah perencanaan, namul hal tersebut bertentangan dengan dinamika kekuasaan yang selalu bersifat dinamis. Di setiap pergantian kekuasaan berganti pula pola atau model distribusi kekuasaan. Hal ini bergantung pada kondisi politik internal pemerintahan dan gaya kepemimpinan penguasa.
Kemampuan-kemampuan seorang penguasa memiliki peran vital dalam proses distribusi kekuasaan. Kemampuan inilah yang disebut sumber daya politik. Sumber daya politik akan berjalan merata dan berkesinambungan manakala diiringi oleh sarana yang tepat. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa uang masih menjadi sarana utama untuk mempengaruhi orang lain.
            Ironis sekali jika segala bentuk kegiatan-kegiatan politik pemerintahan selalu timpang karena maraknya money politic. Hal ini tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga merusak tatanan pemerintahan yang berdampak pada ketidak seimbangan kekuasaan. Penulis sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Dr. Zainuddin Maliki dalam bukunya yang berjudul Politikus Busuk. Dalam uraiannya dijelaskan bahwa Reformasi di negeri ini telah lama bergerak. Sistem baru perpolitikan juga telah lama dibangun. Namun, yang muncul di tengah kepolitikan nasional justru berbagai gejala distortif, pembusukan politik yang ditandai dengan penyebaran politikus busuk dan premanisme politik. Politik ditampilkan sebagai lahan pertikaian dan perebutan pengerukan uang, bukan sebagai medan penyejateraan rakyat (Zainuddin Maliki, 2004)
Oleh karena itu penulis memusatkan perhatian terhadap fenomena kepentingan para elite politik terhadap distribusi kekuasaan dalam internal pemerintahan. Sehingga terbangun sebuah solusi cerdas untuk membangun dan menciptakan kedewasaan politik yang nantinya berdampak pada pemerataan distribusi kekuasaan. Pemerataan yang dimaksud adalah bagaimana kepentingan elite dan aktor-aktor politik serta masyarakat luas dapat tersalurkan sebagaimana porsinya sesuai dengan kesepakatan yang sehat dan profesional. Penyaluran kepentingan inilah yang menempatkan posisi aktor-aktor politik sesuai dengan distribusi kekuasaan masing-masing.
            Seperti kita tahu bahwa dalam sistem presidensial, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presiden memiliki hak prerogratif dalam menyusun kabinetnya. Hak prerogratif ini adalah hak istimewa yang dimiliki oleh presiden dan disahkan dalam sebuah konstitusi. Presiden berhak memilih menteri-menterinya dalam sebuah kabinet, dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
Peran menteri sangat berpengaruh dalam menunjang kinerja pemerintah, karena posisi menteri adalah pembantu presiden dalam melaksanakan tugasnya-tugasnya. Dapat dikatakan bahwa kinerja kabinet akan sangat berpengaruh pada kondisi kehidupan pemerintahan yang nantinya akan dirasakan sendiri dampaknya oleh seluruh warga negara.
            Proses penentapan menteri biasanya dilakukan ketika presiden dan wakil presiden terpilih telah ditetapkan. Disinilah awal mula kegiatan transaksi politik antar elite politik dimulai. Pimpinan-pimpinan partai merapat kepada presiden guna penyaluran kepentingan. Baik yang nantinya berada dalam posisi pro pemerintah atau koalisi, maupun memutuskan untuk berposisi sebagai pengontrol pemerintah yaitu oposisi. Transaksi politik merupakan segala kegiatan politik yang dilakukan untuk perumusan kepentingan seorang perseorangan, orang dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lain. Biasanya transaksi dilakukan dengan cara lobby partai-partai politik.
            Kegiatan ini memang sangat berpengaruh terhadap keseimbangan kekuasaan, karena pemerintah sendiri membutuhkan partai politik untuk mendukung setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebagai program pemerintah. Semakin banyak partai politik yang mendukung jalannya pemerintah, maka semakin mudah bagi pemerintah melaksanakan program-program yang telah direncanakan sebelumnya. Namun tidak menutup kemungkinan, masih ada beberapa faktor lain yang menentukan keseimbangan kekuasaan pemerintahan.
            Saat ini, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa pimpinan partai telah menduduki kursi menteri yang telah ditentukan. Beberapa diantaranya seperti Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menagketrans) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Menteri Perekonomian dari Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa, Menteri Agama dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali.
            Data di atas menunjukkan bahwa, pimpinan partai politik memiliki kesempatan yang luas untuk menduduki kursi menteri tanpa harus menyandang sebuah keahlian khusus di masing-masing bidang kementrian yang dijabatnya. Kalangan profesionalisme yang seharusnya mampu menjadi menteri harus tergeser oleh kepentingan partai politik dan pemerintah. Padahal kinerja menteri sangat berdampak pada kehidupan masyarakat. Maka dapat kita bayangkan ketika seseorang tanpa keahlian khusus membangun rumah, dan kemudian harus membangun sebuah rumah, hasilnya akan tidak maksimal. Karena dasar atau basic keahlian sangat menentukan kinerja.
            Sama halnya ketika seorang menteri menjabat menteri bidang komunikasi teknologi namun pengetahuan atau basic mengenai bidang tersebut lemah, maka kinerja kementrian akan banyak mengalami masalah. Sebut saja permasalahan kontoversial UU ITE. Di samping itu, dampak kepentingan sepihak yang tidak diimbangi profesionalitas bekerja juga akan memicu tumbuhnya ego politik yang tinggi dan menjalarnya praktik KKN. Seperti kasus yang dialami oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
            Dari sini kita dapat menilai bahwa kecenderungan kinerja menteri dari politisi yang tidak berbasic keahlian di bidang tertentu akan memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang. Di samping itu, kinerja kementrian penuh akan nuansa politis yang tidak sehat. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan, tak heran jika presiden berulangkali membuat kebijakan perombakan kabinet atau yang sering kita dengar Reshuffle Kabinet.
            Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa adanya kombinasi figur politisi-profesional akan lebih memperkuat kabinet sebuah pemerintahan. Penerapannya sangatlah simpel, partai politik harus memiliki seorang figur dari kalangan profesional yang menjadi bagian dari partai politik. Figur tersebut harus mampu menguasai suatu disiplin ilmu di bidang tertentu, sehingga dapat memperkokoh fondasi partai politik.
            Ketika saat proses negosiasi partai politik bersama pemerintah dalam penyusunan kabinet, partai politik yang memiliki jatah kursi kabinet dapat mewakilkan figur tersebut untuk diberikan wewenang menjalankan tugas kementrian. Jadi figur yang diusung tidak selamanya pimpinan partai, namun anggota partai yang lebih berkompeten berhak mewakili partai politik koalisi kabinet.
            Satu hal yang menentukan berjalannya proses penentuan kabinet yang efektif adalah ego dan kedewasaan berpolitik para elite politik. Karena jika kita berbicara kekuasaan politik, maka kita tidak pernah jauh dari apa yang dinamakan kepentingan politik, baik kepentingan pribadi politisi maupun kelompok kepentingan. Dari sinilah awal mula penentu kesuksesan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Kepentingan partai politik dapat terwakilkan oleh anggota partai politik, dan kepentingan kinerja pemerintah dapat ditunjang dari perwakilan partai yang berkompeten dan profesional.
            Dengan demikian, solusi cerdas guna menyeimbangkan antara peran partai politik dengan kepentingannya dan pemerintah dengan kinerjanya harus berada dalam paket yang efektif dan efisien. Jadi kedua hal penting yang perlu dicatat adalah bagaimana kepentingan dan kinerja dapat berjalan searah guna tercapainya tujuan politik yang sehat. Sehingga distribusi kekuasaan dapat merata dan pembagiaannya sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan secara transparan dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Maliki, Zainuddin. 2004. Politikus Busuk. Yogyakarta : Galang Press.
Darmawan, Hendro dkk. 2010. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta : Bintang Cemerlang.