REKAM JEJAK LAHIRNYA DEMOKRATISASI
PASCA ORDE BARU :
TARIK ULUR KEPENTINGAN
PENGUASA DALAM PARLEMEN
(Studi Kasus Rapat
Sidang Paripurna DPR RI Mengenai RAPBN-P 2012)
Penulis
: Andy Ilman Hakim
Mahasiswa Program Studi
Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
Era reformasi 1998 ditandai oleh pelengseran
rezim monolitik. Bangsa Indonesia lalu memulai era baru dengan semangat
membangun sistem yang demokratis. Era baru tersebut nampak seperti lebih
menjanjikan ruang partisipasi bagi seluruh elemen masyarakat dalam berbagai
bidang, seperti ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Sudah tentu dalam
perkembangan demikian, segala akses kebebasan memiliki ruang yang begitu besar.
Kebebasan berpendapat di ruang publik, keterbukaan informasi, partisipasi
politik, hingga kebebasan ‘kebablasan’.
Pembenahan
reformasi dimulai dari perbaikan sistem bernegara melalui reformasi UUD. Satu
poin pembenahan sistem inilah yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan
demokrasi. Reformasi UUD sebagai sebuah sistem baru menjadi sangat vital.
Logikanya, jika sistem dibentuk atas dasar kepentingan kolektif maka yang
mendapat manfaat adalah masyarakat secara luas. Sebaliknya, manakala sistem
dibentuk atas dasar kepentingan segelintir orang maka yang terjadi adalah
pemanfaatan sepihak. Ini yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya sebuah
sistem demokrasi kriminal atau demokrasi para mafia.
Permasalahan utama perjalanan
demokrasi terletak pada reformasi konstitusi tersebut. Penulis menjelaskan
adanya kesenjangan regulasi yang tidak sejalan dan berdampak pada relasi antar
sistem. Seperti sistem yang membagi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pada
kenyataannya konsep koalisi menandakan bahwa masih adanya hubungan yang erat
antara kekuasaan presiden dan parlemen sehingga berdampak pada pengerucutan dan
atau pembengkakan kewenangan eksekutif akibat bayang-banyang parlemen koalisi.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi konstitusi dapat
dikatakan belum berhasil terbukti dari keadaan sistem yang masih semu.
Salah
satu contoh kesenjangan sistem terlihat dari bagaimana relasi antar lembaga
negara Eksekutif-Legislatif dalam penetapan kebijakan yang dinilai krusial,
salah satunya terkait Bahan Bakar Minyak (BBM). Akhir-akhir ini bangsa
Indonesia dikejutkan oleh wacana kenaikan BBM. Kebijakan pemerintah dalam hal
kenaikan BBM banyak melahirkan pro-kontra di setiap elemen masyarakat yang
tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa aliansi mahasiswa dan masyarakat secara
serentak menyerukan aksi menolak kenaikan harga BBM. Suasana begitu memanas
saat ribuan mahasiswa dan masyarakat melakukan demonstrasi di depan gedung DPR
seraya menegaskan bahwa masyarakat Indonesia menolak kenaikan harga BBM.
Disfungsi dan Disorientasi
Legislatif-Eksekutif
Ini yang kemudian
menarik jika kita bandingkan dengan keadaan Negara Indonesia. Pertanyaannya
adalah apakah kedaulatan Rakyat sudah benar-benar berdaulat melalui amanat yang
dimandatkan kepada kedua lembaga Eksekutif dan Legislatif ? Mari kita analisis
bersama melalui studi kasus pengambilan kebijakan yang menjadi perhatian
masyarakat luas yaitu ketika rapat Sidang Paripurna DPR RI mengenai Rancangan
Undang-Undang APBN Perubahan tahun 2012 (RAPBN-P).
Seperti
kita ketahui bersama, bahwa Indonesia menganut Sistem pemerintahan Presidensial,
dimana kekuasaan Eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan
Legislatif. Sistem ini secara jelas menempatkan pembagian kekuasaan antara
Eksekutif dan Legislatif. Presiden bertanggungjawab terhadap kabinetnya, dan
menteri-menteri merupakan pembantu Presiden. Hal ini sangat jelas bahwa
Pemerintah dalam lembaga Eksekutif tidak bertanggungjawab kepada Parlemen, dan
Parlemen juga tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah. Sehingga sangat jelas
bahwa pembagian kekuasaan begitu terlihat menempatkan porsi masing-masing kedua
lembaga negara ini untuk menjalankan tugasnya.
Menurut Rod Hague, sistem
pemerintahan presidensial terdiri atas 3 unsur. Pertama presiden dipilih oleh
rakyat untuk memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan
terkait. Kedua Presiden dengan Parlemen memiliki masa jabatan yang tetap dan
tidak bisa saling menjatuhkan. Ketiga tidak adanya status tumpang tindih antara
Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Dari ketiga unsur diatas Presiden
memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan. Namun mekanisme
pengontrolan Presiden dapat dilakukan manakala Presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap konstitusi, pengkhianatan terhadap negara,
dan yang perlu digarisbawahi adalah terlibat masalah kriminal. Jika presiden
melakukan beberapa hal di atas maka sewaktu-waktu posisi Presiden dapat
dijatuhkan, inilah yang kemudian menjadi batasan Presiden.
Namun jika kita telaah lebih dalam,
melihat hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam menyikapi proses
kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) begitu mengecewakan. Berawal
dari isu kenaikan BBM, mulai tampak banyak sekali kepentingan-kepentingan
politik yang muncul di atas permukaan. Dua blok besar Koalisi dan Oposisi
pemerintah begitu berperan besar dalam permainan drama politik tersebut. Partai
Demokrat, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PKS yang tergabung dalam koalisi harus
bersitegang menyikapi internal koalisi. Sedangkan PDI-P yang merupakan oposisi
pemerintah begitu tegas menyuarakan aksi penolakan.
Rapat Sidang Paripurna DPR RI mengenai
RAPBN-P 2012 menjadi ajang pembuktian para anggota parlemen. Adanya tambahan
ayat yaitu pada Pasal 7 Ayat 6 A RAPBN-P mengindikasikan bagaimana kepentingan
penguasa begitu melekat erat dalam parlemen. Dalam ayat 6 A ini disebutkan “ Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia
(Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan
atau penurunan lebih dari 5 persen dari harga minyak internasional yang
diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk
melakukan penyesuaianharga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.”
Keberadaan ayat tambahan tersebut
diatas menjadi persoalan utama yang perlu dikaji sebagai sudut pandang untuk
melihat disfungsi dan disorientasi Eksekutif-Legislatif. Sistem pemerintahan
kita mengatur secara jelas pembagian kewenangan pemerintah dan parlemen. Namun
melihat fenomena diatas yang terlihat adalah tumpang tindih kewenangan kedua
lembaga negara tersebut yang justru bukan cerminan sistem presidensial. Ayat
tambahan yang merupakan ayat ‘titipan’ pemerintah begitu jelas memperlihatkan
bahwa pemerintah dan parlemen saling talik ulur demi kepentingan sepihak. Hal
ini juga memperlihatkan bahwa kedaulatan rakyat sudah tidak lagi diperdulikan,
dikesampingkan, bahkan dilupakan.
Pengalihan Isu untuk
Menutupi Dosa Penguasa
Mengamati isu kenaikan
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah tentunya menjadi hal biasa
bagi para pengamat politik di negara kita. Salah satu pengamat politik Alwan
Rikun, kenaikan BBM hanyalah sekadar pengalihan isu. Ia membenarkan bahwa isu kenaikan
BBM ini bukan merupakan salah satu persoalan yang urgent untuk disorot secara mendalam, namun persoalan penyelesaian
korupsi yang perlu dipertamakan dan diutamakan. Isu kenaikan BBM ini hanyalah
langkah menutupi isu-isu yang sebelumnya mencuat yaitu indikasi korupsi yang
banyak menggerogoti pejabat pemerintahan. Memang sudah menjadi hal biasa
manakala di setiap momentum penting selalu dipolitisir salah satunya dengan
pengalihan isu tersebut.
Langkah-langkah kebijakan terkadang
sengaja dijadikan kontroversi untuk mempropaganda masyarakat luas agar
perhatian mereka terfokus pada agenda yang di setting oleh pembuat isu,
tentunya dari pihak yang memiki kepentingan politik. Ini yang kemudian saya ungkapkan
bahwa pengalihan isu dapat dikatakan sebagai media untuk menutupi dosa
penguasa. Bagaimana tidak, hanya selang beberapa bulan yang lalu, kita
dihadapkan oleh kasus korupsi dan kebobrokan partai politik serta pejabat
pemerintahan. Namun tak sampai tuntas permasalahannya, beberapa isu kemudian
beralih menjadi perhatian publik.
Kita seolah-olah berada dalam
permainan drama yang sudah tersetting rapi oleh elite politik. Dalam bingkai
nasional, mereka begitu mudah memerankan tokoh protagonis yang sebenarnya moral
mereka sangatlah cacat. Elite politik berkepentingan meletakkan birokrasi
sebagai lahan pengerukan uang. Dan kemudian dengan pola-pola tertentu ia
mencoba menyucikan diri agar terhindar dari regulasi yang mengikat. Inilah yang
kemudian menjadi alat untuk membuat mereka terhindar dari jeruji besi.
Keep Fighting for the
Better Indonesia!
Melihat
realita di atas saya begitu prihatin melihat keadaan bangsa ini ke depan
khususnya pasca orde baru. Era reformasi yang seharusnya menjadi kesempatan
memperbaharui wajah bangsa semakin baik setelah sekian lama terpuruk.
Kesempatan yang seharusnya tidak disia-siakan oleh para negarawan yang peduli
pada bangsa, akademisi yang memperkuat sendi-sendi pengetahuan, generasi tua
pemberi tauladan, dan generasi bangsa yang memperkuat fondasi negara. Namun
pada kenyataannya jauh dari apa yang diharapkan.
Para
elite politik yang merupakan aktor-aktor yang menjalankan kehidupan politik
sangatlah merugikan bangsa. Partai politik bukan lagi sebagai media pencerdas
masyarakat atau saluran penyalur aspirasi rakyat. Para generasi muda telah
mengalami degradasi moralitas. Bangsa ini telah mengidap penyakit yang semakin
akut yang diwarisi orde baru. KKN sudah membudaya, dan menjadi kejahatan
sistemik. Seolah kita dihadapkan pada permasalahan yang tak kunjung usai,
bahkan semakin memprihatinkan dengan adanya pola-pola baru praktik mafia
peradilan maupun mafia politik. Maka jangan heran jika demonstrasi sangat
sering terjadi di negeri ini. Seperti apa yang dikemukakan oleh Dr. Zainuddin
Maliki dalam bukunya Politikus Busuk dijelaskan bahwa saat ini kita menyaksikan
adanya persebaran rasa tidak percaya yang terus meluas kepada para pemimpin
yang ditandai dengan semakin maraknya berbagai gerakan protes.
Pada
penutup saya masih menyisakan keoptimisan bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi.
Berkaca pada pemikiran Prof. Dr. Syamsuddin Haris mengenai solusi bahwa
penguatan civil society dan political society perlu dibangun karena
hal itu menjadi kunci demokrasi yang lebih prospektif bagi Indonesia ke depan.
Mengapa demikian? Karena dengan meningkatnya kapabilitas civil society akan meningkat pula check and balances dalam kehidupan politik. Di samping menguatnya
peran masyarakat sipil yang meningkat, indikasi praktik-praktik kriminalitas
oleh pejabat negara dapat diminimalisir. Hal inilah yang akan menjadikan
sendi-sendi kehidupan dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan demokrasi
sebenarnya. Meminjam istilah Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., keep fighting for the better Indonesia!
SUMBER TULISAN
Sumber Buku :
Faiz,
Elza dan Susanto, Agus. 2011. Penyuara
Nurani Keadilan : Biografi Busyro Muqoddas. Jakarta : Erlangga
Indrayana,
Denny. 2011. Cerita di Balik Berita :
Jihad Melawan Mafia. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
Maliki,
Zainuddin. 2004. Politikus Busuk : Fenomena
Insensibilitas Moral Elite Politik. Yogyakarta : Galang Press
Winarno,
Budi. 2012. Kebijakan Publik : Teori,
Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta : C A P S
Sumber Online :